1. Sejarah Wilayah Jatinegara

Penamaan wilayah Jatinegara dihubungkan dengan peristiwa sejarah penaklukan Jayakarta oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Pada saat kota Jayakarta direbut oleh Belanda, Pangeran Jayakarta Wijayakarma (Bupati Jayakarta) menyelamatkan diri ke arah tenggara kota. 

Tempat pengasingan tersebut merupakan daerah hutan yang dipenuhi oleh pohon-pohon jati. Maka di tempat itulah Pangeran Jayakarta Wijayakarma membuka hutan bersama pengikut-pengikutnya untuk dijadikan sebagai tempat pemerintahan dalam pengasingan.
Selanjutnya Pangeran Jayakarta Wijayakarma menyebut daerah tersebut dengan nama (Jati Negara) atau (pemerintahan yang sejati).

Sekitar tahun 1600-an wilayah Jatinegara masih berupa hutan-hutan yang subur, hal ini menjadi sangat mungkin karena wilayah ini dilalui oleh sungai Ciliwung yang memberikan banyak manfaat bagi keadaan alam di wilayah Jatinegara. Keadaan berubah setelah kedatangan bangsa Eropa di Indonesia. Wilayah Jatinegara sejak penguasaan bangsa Belanda di Indonesia masuk ke dalam wilayah pinggiran Batavia.

2. Perkembangan Agama Kristen di Batavia dan Meester Cornelis

Awal abad ke-19 merupakan masa perubahan yang cukup besar mempengaruhi kota Batavia dan umat Kristen yang ada di dalamnya. Penyebab utamanya adalah keadaan pemerintahan kota Batavia yang tidak menentu akibat dibubarkannya VOC tahun 1799.  Keadaan kota Batavia semakin tidak terawat dan kurang sehat sehingga ditinggalkan oleh penduduknya. Kemudian keadaan umat Kristen juga terpengaruh oleh kebijakan pemerintah di Batavia yang akhirnya dapat lebih mengakui adanya perbedaan-perbedaan di dalam beragama.

Perkembangan agama Kristen tidak hanya terjadi di pusat kota saja, akan tetapi pinggiran kota juga memperoleh imbasnya.
Hal tersebut terjadi karena semakin banyak orang yang menganut Kristen sehingga jalan untuk agama Kristen menyebar sampai ke pinggiran kota sangat terbuka lebar. Salah satu daerah pinggiran kota yang terkenal saat itu sebagai kota yang berkembang dalam pembangunan
tata kota dan dalam penyebaran Kristen adalah wilayah Jatinegara. Wilayah pinggiran kota ini menjadi sangat populer, hal ini terjadi karena kesuksesan seorang pria kaya bernama Cornelis Senen berasal dari Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621.

Di Batavia, Cornelis menjadi guru agama kristen, membuka sekolah dan memimpin ibadat agama kristen serta menyampaikan khotbah dalam Bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat gelar Meester, artinya  ’tuan guru’. Hal itulah yang membuat pria ini begitu disegani oleh masyarakat sekitar lingkungan tempat Meester Cornelis Senen bermukim.

Kemudian sepeninggal Meester Cornelis Senen yang wafat pada tahun 1662 nama beliau diabadikan sebagai nama wilayah yang termasuk daerah penguasaan beliau yaitu Meester Cornelis Senen (orang biasa menyebutnya Meester) sebagai bentuk penghargaan tertinggi penduduk sekitar terhadap orang yang berjasa dalam membangun wilayah Jatinegara menjadi wilayah pinggiran kota Batavia yang maju dan berkembang (Heuken 2003: 36).

3. Gereja Bethelkerk

Gereja yang ada di Wilayah Meester Cornelis merupakan salah satu gereja penting sejak wilayah tersebut berkembang pesat menjadi wilayah pinggiran kota yang maju dan dikatakan mandiri pada masanya.
Seperti disebutkan A. Heuken SJ dalam bukunya “Gereja-gereja tua di Jakarta” (Jakarta, 2003).

Gedung Gereja ini awalnya dibangun sekitar tahun 1889 oleh seorang bernama Keuchenius. Dia adalah mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Batavia.
Kemudian Gereja direnovasi pada tahun 1911 – 1916 dan diberi nama Gereja Bethelkerk, oleh De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie, atau lebih dikenal dengan Indische Kerk.

4. GPIB Jemaat Koinonia

Melalui Surat Keputusan Wakil Tinggi Kerajaan di Indonesia tertanggal 1 Desember 1948 No. 2, gereja ini beralih kepemilikan ke Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat dan diberi nama GPIB Jemaat Bethel.
Kemudian pada tanggal 1 Januari 1961 namanya menjadi GPIB Jemaat “Koinonia”.
Sampai saat ini nama tersebut masih digunakan. Kata koinonia memiliki pengertian persekutuan.

5. Bangunan Gereja Koinonia

Bangunan Gereja Koinonia memiliki desain gereja Protestan pada umumnya, yaitu memiliki denah persegi, dengan hiasan yang sederhana. Bentuk denah gereja dipengaruhi oleh aturan geometri,
yaitu bagian bangunan terdiri atas empat ruangan yang merupakan ruang tangga terdapat di keempat sudut gereja, satu ruang utama gereja, kemudian empat buah beranda (porch) dengan bentuk sama di keempat sisi gereja yang menempel sejajar dengan bangunan ruang tangga.

Bagian atap gereja memiliki desain bentuk limas segi empat yang berjumlah 5 (lima) buah.
Bagian atap yang terdapat pada masing- masing ruang tangga ada empat buah dan satu buah atap pada bagian ruang utama.

Kemudian pada tiap- tiap beranda juga terdapat atap yang berbentuk pelana dengan ujung meruncing mengikuti bentuk beranda.

Bagian halaman gereja tidak luas. Halaman gereja sejak semula tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Batas antara bangunan utama dengan lingkungan sekitar terlihat dekat dan hanya dibatasi oleh pagar keliling.

Gereja Koinonia merupakan gereja beraliran Protestan dengan desain dan bentuk yang sederhana serta tidak rumit.
Bentuk denah bangunan memiliki pola simetris.
Bangunan gereja Koinonia memiliki tiga lantai, Lantai pertama merupakan tempat ruang utama berada, Lantai kedua merupakan tempat menampung jemaat apabila Lantai pertama atau ruang utama tidak bisa menampung jemaat lagi.
Lantai ketiga dari bangunan Gereja Koinonia merupakan ruang doa, tempat ini merupakan tempat khusus tidak sembarang orang bisa masuk tanpa izin dari pengelola Gereja Koinonia.

Ruangan lainnya yang terdapat di dalam bangunan Gereja Koinonia adalah ruang konsistori yang terdapat di Lantai pertama, tepatnya di bagian belakang dari bangunan.
Ruangan ini letaknya berada di belakang mimbar. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai tempat pendeta melakukan persiapan sebelum melakukan khotbah.

Selain tiga lantai dengan masing-masing fungsinya yang telah disebutkan ruangan lainnya yang terdapat pada bangunan Gereja Koinonia adalah empat ruangan tangga yang berada di setiap sudut bangunan.
Empat ruang tangga ini merupakan penghubung dari lantai pertama ke lantai kedua.
Empat ruang tangga ini yang berada di setiap sudut bangunan gereja membuatnya terlihat seperti empat buah menara yang mengapit bangunan utama apabila terlihat dari luar bangunan.

Gereja Koinonia dirawat dan dijaga keasliannya oleh Jemaat. Oleh karena itu, Pemerintah DKI memberikan piagam Penghargaan Sadar Pelestarian Budaya.

6. Rencana Pelestarian Bangunan

Sesuai Keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 510 tahun 2018 tanggal 08 Maret 2018 Tentang Penetapan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat Jemaat Koinonia sebagai Bangunan Cagar Budaya.
Oleh karena itu perlu dilestarikan sehingga dapat menjadi warisan (heritage) budaya di Jakarta Timur.

Basis rancang bangun pelestarian bangunan adalah mengembalikan ke Rancang awal dari Kondisi eksisting.
Rancang bangun yang disiapkan Gereja Koinonia telah disetujui oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Rencana Pemugaran menggunakan Dana Hibah Provinsi DKI Jakarta, yang saat ini sedang diproses oleh Dinas Cipta Karya DKI Jakarta.

Gambar existing

Gambar perubahan kembali

DAFTAR PUSTAKA
1.  Adolf  Heuken,  2003,  Gereja-gereja  Tua  di  Jakarta,  Yayasan  Cipta  Loka Caraka.
2.  Rinno Widianto, 2009, Gereja Koinonia Meester Cornelis Jatinegara: Gaya dan Ragam Hias, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Arkeologi Universitas Indonesia.
3.  https://gpibkoinonia.wordpress.com/sejarah/.
4.  Foto : https://id.pinterest.com/pbintoro/_saved/
5.  Foto : https://en.wikipedia.org/wiki/File:Bethelkerk_1910.jpg